Cerita Pendek "KENANGAN"

KENANGAN

Karya Dini Safia Hudah


Matahari mulai menampakkan sinarnya yang membuat setiap orang memulai aktifitas rutin mereka. Penjual sayur mulai berdatangan, ibu-ibu berbondong-bondong keluar rumah untuk berbelanja, para ayah mulai pergi mencari nafkah, dan anak-anak mulai berangkat ke sekolah. Tidak terkecuali seorang gadis muda yang baru lulus dari bangku kuliahnya untuk pergi bekerja di suatu perusahaan penerbitan yang telah menerimanya sekitar enam bulan yang lalu, gadis itu ditempatkan sebagai editor. Karena kemampuan dan ketelitiannya dalam menjalankan tugas, tidak heran bahwa setelah lulus kuliah dan saat melamar pekerjaan dia dengan mudah diterima karena selain kemampuan yang ia miliki dan pendidikan yang cukup, ia memiliki sikap yang bertanggung jawab dan sopan.

Seperti rutinitas kesehariannya, gadis yang biasanya dipanggil Syifa itu pergi ke halte bus untuk ke tempat kerjanya meskipun ia memiliki sepeda motor di rumah namun Syifa tidak bisa naik sepeda motor dan lebih memilih untuk naik bus. Syifa adalah anak tunggal di keluarganya, saat dia bertanya kenapa dia tidak memiliki kakak atau adik jawabannya adalah karena biaya hidup tidaklah murah meskipun hanya memiliki satu anak namun bisa bertanggung jawab dengan keluarga, dan dapat mencukupi sandang, pangan, dan papan, bisa mendidik anak dengan baik dan dapat menyekolahkannya hingga ke perguruan tinggi hingga memiliki pekerjaan yang layak itu sudahlah cukup bagi orang tuanya. Karena penjelasan dari orang tuanya itulah yang membuat Syifa bertekad pada dirinya untuk tidak mengecewakan mereka, karena hanya ia harapan yang dimiliki kedua orang tuanya. Ayah Syifa bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik dan ibunya membuka warung di rumahnya. Kehidupan keluarga mereka cukup sederhana, mereka tinggal dikampung Cempaka daerah Bandung, Jawa Barat.

Saat Syifa sampai di kantor tidak lupa ia menyapa orang-orang yang bekerja di satu bagian dengannya. Syifa memang dikenal ramah dan murah senyum hingga ada beberapa lelaki yang terpesona dengan senyuman dan keramahannya seperti salah satu rekan kerjanya yang bernama Riski. Ibarat pemandangan kebun bunga disaat matahari menyinari dengan cerah begitulah senyum Syifa. Meski baru kenal enam bulan yang lalu, Syifa sudah cukup akrab dengan Riski, bahakan tanpa diketahui oleh Syifa ternyata Riski telah memiliki perasaan terhadapnya namun Riski tidak berani mengungkapkannya terhadap Syifa, karena takut hal itu akan membuat mereka menjadi canggung kedepannya jika Syifa tidak bisa menerimanya.

“Selamat pagi semuanya,” sapa Syifa dengan riang.

“Pagi Syifa,” balas mereka dengan senyum terkembang.

 “Sepertinya kau sangat bahagia hari ini,” kata Riski.

“Bukankah Syifa memang selalu bahagia setiap hari,” balas Sara.

Sara adalah sahabat baik Syifa saat SMA dulu, bahkan Sara sudah dianggap Syifa seperti saudaranya sendiri, mereka begitu dekat, kemana-mana selalu bersama, hingga waktu kelulusan mereka harus berpisah karena Sara akan melanjutkan kuliahnya di Yogyakarta. Syifa sangat sedih waktu itu, tapi tidak disangka bahwa mereka dipertemukan kembali, dengan Sara bekerja di perusahaan dan bagian yang sama dengannya, Syifa sangat senang karena bisa bertemu dan bekerja sama dengan Sara.

“Hari ini sangat cerah, jadi aku tidak ingin merusaknya dengan tidak bahagia,” balas Syifa dengan senyum terkembang.

Meskipun didepan banyak orang Syifa selalu terlihat bahagia namun terkadang saat dia sendirian Syifa merasa gelisah dan sedih, tidak mengerti apa yang ia gelisahkan karena hatinya terasa ada beban yang tertinggal di masa lalu.

Pukul sembilan pagi ini akan ada rapat kerja sama dengan perusahaan lain yang akan membahas tentang penerbitan majalah yang biasa terbit tiga bulan sekali. Penerbitan kali ini lebih istimewa karena akan ada projek baru. Dibagian editing, yang akan hadir dalam rapat adalah Pak Haryo sebagai ketua bagian editor didampingi oleh Riski sebagai sekertarisnya.

“Syifa aku pergi dahulu ya ke ruang rapat,” pamit Riski.

“Iya Ris, semoga lancar ya rapatnya karena ku dengar akan ada projek yang istimewa kali ini,” sahut Syifa.

“Kau benar Fa, oleh sebab itu aku berharap semuanya akan berjalan dengan lancar,” jawab Riski sambil tersenyum.

“Iya, kalau begitu pergilah, itu Pak Haryo sudah keluar dari ruangannya,” beri tahu Syifa.

“Iya kau benar, kalau begitu aku pergi dulu ya,” sahut Riski.

Rapat berjalan dengan lancar dan berakhir dua jam setelah dimulai. Riski dan Pak Haryo kembali ke ruangannya masing-masing dan melanjutkan pekerjaan mereka.

Jam menunjukkan pukul dua belas waktunya istirahat, seperti biasanya Syifa, Sara, dan Riski pergi ke warung Bu Amin yang berada di sebelah perusahaan untuk mengisi perut mereka. Mereka sudah kenal baik dengan Bu Amin karena saat istirahat mereka selalu datang ke warung Bu Amin dan menjadi langganan tetap di sana. Mereka akan menghabiskan waktu istirahat mereka dengan makan sekaligus mengobrol santai di warung Bu Amin.

“Akhir pekan ini ayo kita pergi ke jalan Darma akan ada pasar malam disana,” ajak Sara.

“Benarkah? Wah..pasti akan menyenangkan disana,” sahut Syifa dengan gembira.

“Bagaimana denganmu Ris, kau akan ikut dengan kami kan ke pasar malam?” tanya Sara.

“Aku mau ikut tapi..apakah kalian tidak mengajak seorang pria lagi untuk pergi ke sana?” jawab Riski dengan ragu dan tidak enak.

“Memangnya kenapa Ris? biasanya juga kita pergi hanya bertiga tidak apa-apa,” balas Syifa.

“Iya aku tahu, tapi bukannya akan jauh lebih baik jika mengajak seorang lagi setidaknya aku bukanlah satu-satunya pria bersama dengan kalian hehehe,” jawab Riski dengan menunjukkan deret giginya.

“Lagi pula bukankah akan lebih baik jika kita pergi dengan jumlah genap dari pada kita pergi dengan jumlah yang ganjil, kata orang tua jaman dahulu, kalau kita pergi bersama orang-orang dengan jumlah ganjil nanti ada yang mengikuti loh,” lanjut Riski dengan wajah seriusnya tapi tampak lucu di mata Sara dan Syifa.

“Kau itu ada-ada saja Ris, memangnya cerita si kancil pada jaman dahulu,” balas Syifa dengan tertawa, sejenak Riski yang melihat itu, dia terpesona dengan tawa Syifa yang sangat manis.

“Tenanglah Ris, aku akan mengajak seorang teman, dia adalah seniorku dulu di universitas,” balas Sara sambil tertawa karena teringat dengan ucapan Riski.

“Siapa Sar, pria atau wanita?” balas Syifa.

“Tentu saja seorang pria Fa,” jawab Sara.

“Wah, sepertinya ada yang belum kita ketahui tentang Sara Fa,” goda Riski yang dibalas anggukan oleh Syifa.

“Kalian ini kenapa, dia hanya seniorku di universitas, kebetulan dia memang berasal dari Bandung, dia akan kembali ke sini lusa dan memutuskan untuk bekerja di sini,” sahut Sara.

“Oohhh...benarkah hanya senior, tetapi kau terlihat bahagia saat membicarakannya Sar,” goda Syifa karena ia tahu sifat dari temannya ini saat menyukai seseorang.

“Sebenarnya...aku memang menyukai seniorku itu dan sekarang aku ingin berusaha untuk mendekatinya,” jawab Sara dengan wajah menunduk dan malu-malu.

“Oh kupikir kau sudah menjalin hubungan dengan seniormu itu. Apakah kau butuh bantuan dan trik dariku untuk mendekatinya?” tanya Riski dengan tawa

“Tidak perlu Ris, kau saja tidak bisa mengatasi perasaanmu sendiri, bagaimana bisa kau memberikan trik untukku,” balas Sara menyindir Riski karena ia tahu bahwa Riski menyukai Syifa tapi tidak berani mengatakannya.

Jam menunjukkan pukul satu siang, yang artinya jam istirahat sudah selesai Syifa, Sara, dan Riski kembali ke kantor dan melanjutkan pekerjaan mereka.

***

Hari-hari terlewati tidak terasa akhir pekan telah tiba. Sesuai janji yang mereka buat beberapa hari yang lalu, mereka akan pergi ke pasar malam sekaligus bertemu dengan senior Sara yang sudah membuat Sara jatuh hati. Syifa dan Riski sudah berada di pasar malam, mereka menunggu kedatangan Sara dan seniornya. Tidak lama Sara datang bersama seorang pria yang tidak lain adalah seniornya. Sejenak Syifa terdiam saat melihat wajah dari seniornya Sara, dia merasa jantungnya sedang berlarian saat ini.

“Teman-teman perkenalkan ini adalah Kak Malik seniorku,” kata Sara dengan gembiranya.

“Salam kenal Kak, namaku Riski dan ini..,” belum sempat Riski melanjutkan ucapannya Kak Malik pun langusng berucap,

“Syifa, kau benar Syifa kan yang tinggal di Kampung Cempaka?” ucap Kak Malik sambil menatap Syifa dengan senyum, Syifa hanya diam sambil menatap Kak Malik.

“Kalian sudah saling kenal?” tanya Sara karena penasaran.

“Iya Sar, kami adalah tetangga dulu, rumahku dekat dengan rumahnya Syifa di Kampung Cempaka tapi sekarang aku sudah pindah,” jawab Kak Malik dengan antusias sambil menatap Syifa, saat mengetahui bahwa Syifa adalah teman dekat yang selalu diceritakan Sara.

“Bagaimana kabarmu Fa?” tanya Kak Malik kepada Syifa.

“Alhamdulillah baik Kak,” jawab Syifa dengan tersenyum sedikit kaku yang hanya disadari oleh Riski dan Sara yang mengetahui kebiasaan temannya itu.

“Kalau begitu ayo, tunggu apalagi kita harus menelusuri pasar malam ini,” ajak Riski karena melihat kecanggungan yang terjadi.

Saat jalan-jalan Syifa hanya diam dan sesekali tersenyum saat mendengar kata-kata yang diucapkan Riski dan Kak Malik. Riski dan Sara sebenarnya menyadari akan kediaman Syifa, karena tidak biasanya temannya itu hanya diam. Dalam pikirannya, Syifa memikirkan banyak hal saat ini tentang Kak Malik dan kenangannya di masa lalu yang selama ini kadang membuat ia terdiam. Tidak ada yang mengerti apa yang terjadi dengan Syifa saat ini.

Setelah selesai dari pasar malam Riski pun memutuskan untuk mengantar Syifa pulang. Sebenarnya Riski penasaran kenapa Syifa hanya diam saat Kak Malik datang. Ingin sekali Riski bertanya namun ia tidak dapat mengucapkannya. Saat sampai di depan rumah Syifa, Syifa tidak lupa berterima kasih kepada Riski karena sudah mengantarkannya, Riski pun langsung pamit karena hari sudah semakin larut. Syifa masuk kerumahnya dan mengucapkan salam, ia langsung pergi menuju ke kamarnya dan membersihkan diri. Setelah membersihkan diri, Syifa duduk dan termenung, yang ada dipikirannya hanya kejadian di masa lalu dengan Kak Malik sekaligus membuatnya terdiam saat bertemu dengan Kak Malik tadi di pasar malam.

Sebenarnya dia sangat merindukan Kak Malik, karena Kak Malik adalah cinta pertamanya. Saat itu Syifa masih duduk di Sekolah Menangah Pertama kelas delapan. Kak Malik setiap hari selalu lewat di depan rumah Syifa, biasanya saat sore menjelang dan Syifa sedang membersihakan halaman depan rumahnya, mereka hanya bisa saling pandang dan menyapa tanpa mengucapkan kata-kata lebih. Namun pada saat ada acara di Kampung Cempaka, barulah mereka saling berbicara santai dan tertawa malu-malu.

Sampai pada suatu ketika Syifa mengetahui dari teman dekat Kak Malik bahwa Kak Malik memiliki rasa kepadanya, jantung Syifa seperti sedang berlari maraton dan merasa sangat bahagia ternyata Kak Malik juga memiliki perasaan terhadapnya. Tapi, belum sempat Syifa dan Kak Malik mengutarakan perasaan mereka secara pribadi, Kak Malik harus pindah karena ayahnya dipindah tugaskan. Tidak ada kabar ataupun kontak apapun dari Kak Malik sejak saat itu. Memori demi memori terus berputar di kepala Syifa.

“Kak...kenapa aku harus bertemu denganmu, disaat aku sudah mulai melupakan kehadiranmu dihatiku,” monolog Syifa dengan setetes air mata mengalir di pipi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KRITIK DAN ESAI CERPEN "SULASTRI DAN EMPAT LELAKI" KARYA M. SHOIM ANWAR

KRITIK DAN ESAI PUISI "IDUL FITRI" KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI

KRITIK DAN ESAI PUISI WIDJI THUKUL