KRITIK DAN ESAI PUISI "ULAMA DURNA NGESOT KE ISTANA" KARYA M. SHOIM ANWAR

 

“Ulama Durna Ngesot ke Istana”

Puisi :  M. Shoim Anwar

Sumber gambar https://caritawayang.blogspot.com

Lihatlah

sebuah panggung di negeri sandiwara

ketika ada Ulama Durna ngesot ke istana

menjilat pantat raja agar diberi jatah remah-remah

maka kekuasaan menjadi sangat pongah

memesan potongan-potongan ayat untuk diplintir sekenanya

agar segala tingkah polah dianggap absah

 

Lihatlah

ketika Ulama Durna ngesot ke istana

menyerahkan marwah yang dulu diembannya

Sengkuni dan para pengikutnya di luar sana

bertingkah sok gagah berlindung di ketiak penguasa

menunggang banteng bermata merah

mengacungkan arit sebagai senjata

memukulkan palu memvonis orang-orang ke penjara

 

Lihatlah

ketika Ulama Durna berdagang mantra berbusa-busa

adakah ia hendak menyulut api baratayuda

para pengikutnya mabuk ke lembah-lembah

tatanan yang dulu dicipta oleh para pemula

porak poranda dijajah tipu daya

oh tahta dunia yang fana

para begundal mengaku dewa-dewa

sambil menuding ke arah kawula

seakan isi dunia hendak diuntal mentah-mentah

 

Lihatlah

ketika Ulama Durna ngesot ke istana

pada akhir perebutan tahta di padang kurusetra

ia diumpankan raja ke medan laga

terhenyaklah saat terkabar berita

anak hasil perzinahannya dengan satwa

telah gugur mendahului di depan sana

Ulama Durna bagai kehilangan seluruh belulangnya

ia menunduk di atas tanah

riwayatnya pun berakhir sudah

kepalanya terpenggal karena terpedaya

menebus karmanya saat baratayuda

                                                                            Desember 2020


Kritik dan Esai Puisi “Ulama Durna Ngesot ke Istana”

Puisi di atas merupakan salah satu karya dari M. Shoim Anwar, seorang sastrawan sekaligus dosen. M. Shoim Anwar lahir di Desa Sambong Dukuh, Jombang, Jawa Timur. M. Shoim Anwar telah banyak menulis cerpen, novel, esei, dan puisi di berbagai media, salah satunya adalah puisi Ulama Durna Ngesot ke Istana.

Menurut Pradopo (2009:7), puisi merupakan ekspresi pemikiran yang membangkitkan perasaan dan merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Seperti dalam puisi di atas dengan judul “Ulama Durna Ngesot ke Istana”, pengarang menggunakan nama salah satu tokoh dalam pewayanga Jawa yaitu Resi Durna atau Drona. Resi Durna adalah seseorang yang cerdik, pandai, dan sakti. Ia mendapat kepercayaan menjadi guru Pandawa dan Kurawa. Diantara Pandawa dan Kurawa murid kesayangan Resi Durna adalah Arjuna Pandawa nomor tiga namun, dibandingkan dengan Arjuna Resi Durna lebih menyayangi putranya yang bernama Aswatama.

Ketika Resi Durna mengalami perselisihan dengan Prabu Drupada, Resi Durna di tolong oleh Sangkuni sehingga dapat diterima di istana Hastinapura dan menjadi guru Pandawa dan Kurawa. Hal tersebut digambarkan dalam puisi pada baris berikut.

ketika Ulama Durna ngesot ke istana

menyerahkan marwah yang dulu diembannya

Sengkuni dan para pengikutnya di luar sana

bertingkah sok gagah berlindung di ketiak penguasa

Ketika perang Baratayuda, Resi Durna diangkat menjadi Senapati Kurawa menggantikan Bisma yang telah gugur, namun saat mengetahui bahwa putranya yang bernama Aswatama telah gugur di medan perang, Resi Durna merasa tidak memiliki harapan dan akhirnya Resi Durna dapat dikalahkan oleh Pandawa. Padahal gugurnya Aswatama adalah kebohongan dan siasat dari Pandawa untuk mengalahkan Resi Durna. Yudistira Pandawa nomor satu yang dikenal tidak pernah berbohong menyampaikan informasi bahwa Aswatama telah meninggal sehingga Resi Durna mempercayai hal tersebut, sehingga Resi Durna dapat dikalahkan oleh Pandawa. Hal tersebut digambarkan dalam puisi bait terakhir sebagai berikut.

Lihatlah

ketika Ulama Durna ngesot ke istana

pada akhir perebutan tahta di padang kurusetra

ia diumpankan raja ke medan laga

terhenyaklah saat terkabar berita

anak hasil perzinahannya dengan satwa

telah gugur mendahului di depan sana

Ulama Durna bagai kehilangan seluruh belulangnya

ia menunduk di atas tanah

riwayatnya pun berakhir sudah

kepalanya terpenggal karena terpedaya

menebus karmanya saat baratayuda

 

Dalam kehidupan saat ini, puisi tersebut memiliki makna seseorang yang melakukan segala hal untuk bertahan dalam kehidupan ini. Bait pertama pertama puisi di atas, memiliki makna bahwa kekuasaan menjadi segalanya bahkan seseorang melakukan segala hal termasuk merendahkan harga dirinya sendiri agar dekat dengan kekuasaan tersebut demi bertahan hidup. Bait pertama puisi di atas sebagai berikut.

Lihatlah

sebuah panggung di negeri sandiwara

ketika ada Ulama Durna ngesot ke istana

menjilat pantat raja agar diberi jatah remah-remah

maka kekuasaan menjadi sangat pongah

memesan potongan-potongan ayat untuk diplintir sekenanya

agar segala tingkah polah dianggap absah

            Pada bait kedua, memiliki makna hampir sama dengan bait pertama yaitu seseorang yang ingin bertahan hidup rela menyerahkan harga dirinya atau kehormatannya kepada orang-orang yang memiliki kekuasaan meskipun orang-orang tersebut memiliki sifat buruk karena kekuasaan adalah segalanya. Bait kedua puisi di atas sebagai berikut.

Lihatlah

ketika Ulama Durna ngesot ke istana

menyerahkan marwah yang dulu diembannya

Sengkuni dan para pengikutnya di luar sana

bertingkah sok gagah berlindung di ketiak penguasa

menunggang banteng bermata merah

mengacungkan arit sebagai senjata

memukulkan palu memvonis orang-orang ke penjara

Pada bait ketiga, memiliki makna bahwa seseorang yang bekerja keras demi bertahan hidup dimanfaatkan oleh orang-orang yang saling berebut kekuasaan, tidak perduli kerusakan yang ditimbulkan serta korban yang berjatuhan.

Lihatlah

ketika Ulama Durna berdagang mantra berbusa-busa

adakah ia hendak menyulut api baratayuda

para pengikutnya mabuk ke lembah-lembah

tatanan yang dulu dicipta oleh para pemula

porak poranda dijajah tipu daya

oh tahta dunia yang fana

para begundal mengaku dewa-dewa

sambil menuding ke arah kawula

seakan isi dunia hendak diuntal mentah-mentah

            Pada bait keempat, memiliki makna setelah melakukan segala hal namun hasilnya justru tidak seperti yang diinginkan bahkan kerugian yang diterima sehingga rasa peneyesalan timbul setelah semua yang telah dilalui.

Lihatlah

ketika Ulama Durna ngesot ke istana

pada akhir perebutan tahta di padang kurusetra

ia diumpankan raja ke medan laga

terhenyaklah saat terkabar berita

anak hasil perzinahannya dengan satwa

telah gugur mendahului di depan sana

Ulama Durna bagai kehilangan seluruh belulangnya

ia menunduk di atas tanah

riwayatnya pun berakhir sudah

kepalanya terpenggal karena terpedaya

menebus karmanya saat baratayuda

 

            Dalam puisi di atas dengan judul “Ulama Durna Ngesot ke Istana”, terdiri dari 4 bait dan 37 baris. Setiap karya sastra memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kelebihan dari puisi di atas yaitu setiap baris berima a. Kekurangan dari puisi di atas yaitu pemilihan kata atau diksi yang digunakan sulit untuk dipahami sehingga harus membaca berulangkali untuk memahami makna dari puisi tersebut.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KRITIK DAN ESAI CERPEN "SULASTRI DAN EMPAT LELAKI" KARYA M. SHOIM ANWAR

KRITIK DAN ESAI PUISI "IDUL FITRI" KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI

KRITIK DAN ESAI PUISI WIDJI THUKUL