KRITIK DAN ESAI PUISI "ULAMA DURNA NGESOT KE ISTANA" KARYA M. SHOIM ANWAR
“Ulama Durna Ngesot ke Istana”
Puisi : M. Shoim Anwar
Sumber gambar https://caritawayang.blogspot.com
Lihatlah
sebuah panggung di negeri sandiwara
ketika ada Ulama Durna ngesot ke istana
menjilat pantat raja agar diberi jatah remah-remah
maka kekuasaan menjadi sangat pongah
memesan potongan-potongan ayat untuk diplintir sekenanya
agar segala tingkah polah dianggap absah
Lihatlah
ketika Ulama Durna ngesot ke istana
menyerahkan marwah yang dulu diembannya
Sengkuni dan para pengikutnya di luar sana
bertingkah sok gagah berlindung di ketiak penguasa
menunggang banteng bermata merah
mengacungkan arit sebagai senjata
memukulkan palu memvonis orang-orang ke penjara
Lihatlah
ketika Ulama Durna berdagang mantra berbusa-busa
adakah ia hendak menyulut api baratayuda
para pengikutnya mabuk ke lembah-lembah
tatanan yang dulu dicipta oleh para pemula
porak poranda dijajah tipu daya
oh tahta dunia yang fana
para begundal mengaku dewa-dewa
sambil menuding ke arah kawula
seakan isi dunia hendak diuntal mentah-mentah
Lihatlah
ketika Ulama Durna ngesot ke istana
pada akhir perebutan tahta di padang kurusetra
ia diumpankan raja ke medan laga
terhenyaklah saat terkabar berita
anak hasil perzinahannya dengan satwa
telah gugur mendahului di depan sana
Ulama Durna bagai kehilangan seluruh belulangnya
ia menunduk di atas tanah
riwayatnya pun berakhir sudah
kepalanya terpenggal karena terpedaya
menebus karmanya saat baratayuda
Kritik dan Esai Puisi “Ulama Durna Ngesot ke Istana”
Puisi
di atas merupakan salah satu karya dari M. Shoim Anwar, seorang sastrawan
sekaligus dosen. M. Shoim Anwar lahir di Desa Sambong Dukuh, Jombang, Jawa
Timur. M. Shoim Anwar telah banyak menulis cerpen, novel, esei, dan puisi di
berbagai media, salah satunya adalah puisi Ulama Durna Ngesot ke Istana.
Menurut Pradopo (2009:7), puisi merupakan ekspresi pemikiran yang membangkitkan perasaan dan merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Seperti dalam puisi di atas dengan judul “Ulama Durna Ngesot ke Istana”, pengarang menggunakan nama salah satu tokoh dalam pewayanga Jawa yaitu Resi Durna atau Drona. Resi Durna adalah seseorang yang cerdik, pandai, dan sakti. Ia mendapat kepercayaan menjadi guru Pandawa dan Kurawa. Diantara Pandawa dan Kurawa murid kesayangan Resi Durna adalah Arjuna Pandawa nomor tiga namun, dibandingkan dengan Arjuna Resi Durna lebih menyayangi putranya yang bernama Aswatama.
Ketika Resi Durna mengalami perselisihan dengan Prabu Drupada, Resi Durna di tolong oleh Sangkuni sehingga dapat diterima di istana Hastinapura dan menjadi guru Pandawa dan Kurawa. Hal tersebut digambarkan dalam puisi pada baris berikut.
ketika Ulama Durna ngesot ke istana
menyerahkan marwah yang dulu diembannya
Sengkuni dan para pengikutnya di luar sana
bertingkah sok gagah berlindung di ketiak penguasa
Ketika perang Baratayuda, Resi Durna diangkat menjadi Senapati Kurawa menggantikan Bisma yang telah gugur, namun saat mengetahui bahwa putranya yang bernama Aswatama telah gugur di medan perang, Resi Durna merasa tidak memiliki harapan dan akhirnya Resi Durna dapat dikalahkan oleh Pandawa. Padahal gugurnya Aswatama adalah kebohongan dan siasat dari Pandawa untuk mengalahkan Resi Durna. Yudistira Pandawa nomor satu yang dikenal tidak pernah berbohong menyampaikan informasi bahwa Aswatama telah meninggal sehingga Resi Durna mempercayai hal tersebut, sehingga Resi Durna dapat dikalahkan oleh Pandawa. Hal tersebut digambarkan dalam puisi bait terakhir sebagai berikut.
Lihatlah
ketika Ulama Durna ngesot ke istana
pada akhir perebutan tahta di padang kurusetra
ia diumpankan raja ke medan laga
terhenyaklah saat terkabar berita
anak hasil perzinahannya dengan satwa
telah gugur mendahului di depan sana
Ulama Durna bagai kehilangan seluruh belulangnya
ia menunduk di atas tanah
riwayatnya pun berakhir sudah
kepalanya terpenggal karena terpedaya
menebus karmanya saat baratayuda
Dalam kehidupan saat ini, puisi tersebut memiliki makna seseorang yang melakukan segala hal untuk bertahan dalam kehidupan ini. Bait pertama pertama puisi di atas, memiliki makna bahwa kekuasaan menjadi segalanya bahkan seseorang melakukan segala hal termasuk merendahkan harga dirinya sendiri agar dekat dengan kekuasaan tersebut demi bertahan hidup. Bait pertama puisi di atas sebagai berikut.
Lihatlah
sebuah panggung di negeri sandiwara
ketika ada Ulama Durna ngesot ke istana
menjilat pantat raja agar diberi jatah remah-remah
maka kekuasaan menjadi sangat pongah
memesan potongan-potongan ayat untuk diplintir sekenanya
agar segala tingkah polah dianggap absah
Pada bait kedua, memiliki makna hampir sama dengan bait pertama yaitu seseorang yang ingin bertahan hidup rela menyerahkan harga dirinya atau kehormatannya kepada orang-orang yang memiliki kekuasaan meskipun orang-orang tersebut memiliki sifat buruk karena kekuasaan adalah segalanya. Bait kedua puisi di atas sebagai berikut.
Lihatlah
ketika Ulama Durna ngesot ke istana
menyerahkan marwah yang dulu diembannya
Sengkuni dan para pengikutnya di luar sana
bertingkah sok gagah berlindung di ketiak penguasa
menunggang banteng bermata merah
mengacungkan arit sebagai senjata
memukulkan palu memvonis orang-orang ke penjara
Pada bait ketiga, memiliki makna bahwa seseorang yang bekerja keras demi bertahan hidup dimanfaatkan oleh orang-orang yang saling berebut kekuasaan, tidak perduli kerusakan yang ditimbulkan serta korban yang berjatuhan.
Lihatlah
ketika Ulama Durna berdagang mantra berbusa-busa
adakah ia hendak menyulut api baratayuda
para pengikutnya mabuk ke lembah-lembah
tatanan yang dulu dicipta oleh para pemula
porak poranda dijajah tipu daya
oh tahta dunia yang fana
para begundal mengaku dewa-dewa
sambil menuding ke arah kawula
seakan isi dunia hendak diuntal mentah-mentah
Pada bait keempat, memiliki makna setelah melakukan segala hal namun hasilnya justru tidak seperti yang diinginkan bahkan kerugian yang diterima sehingga rasa peneyesalan timbul setelah semua yang telah dilalui.
Lihatlah
ketika Ulama Durna ngesot ke istana
pada akhir perebutan tahta di padang kurusetra
ia diumpankan raja ke medan laga
terhenyaklah saat terkabar berita
anak hasil perzinahannya dengan satwa
telah gugur mendahului di depan sana
Ulama Durna bagai kehilangan seluruh belulangnya
ia menunduk di atas tanah
riwayatnya pun berakhir sudah
kepalanya terpenggal karena terpedaya
menebus karmanya saat baratayuda
Dalam puisi di atas dengan judul “Ulama Durna Ngesot ke Istana”, terdiri dari 4 bait dan 37 baris. Setiap karya sastra memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kelebihan dari puisi di atas yaitu setiap baris berima a. Kekurangan dari puisi di atas yaitu pemilihan kata atau diksi yang digunakan sulit untuk dipahami sehingga harus membaca berulangkali untuk memahami makna dari puisi tersebut.
Komentar
Posting Komentar