KRITIK DAN ESAI PUISI "ULAMA ABIYASA TAK PERNAH MINTA JATAH" KARYA M. SHOIM ANWAR

“Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah” 

Karya M. Shoim Anwar


Sumber gambar https://stock.adobe.com


Ulama Abiyasa adalah guru yang mulia

panutan para kawula dari awal kisah

ia adalah cagak yang tegak

tak pernah silau oleh gebyar dunia

tak pernah ngiler oleh umpan penguasa

tak pernah ngesot ke istana untuk meminta jatah

tak pernah gentar oleh gertak sejuta tombak

tak pernah terpana oleh singgasana raja-raja


Ulama Abiyasa merengkuh teguh hati dan lidah

marwah digenggam hingga ke dada

tuturnya indah menyemaikan aroma bunga

senyumnya merasuk hingga ke sukma

langkahnya menjadi panutan bijaksana

kehormatan ditegakkan tanpa sebiji senjata


Ulama Abiyasa bertitah

para raja dan penguasa bertekuk hormat padanya

tak ada yang berani datang minta dukungan jadi penguasa

menjadikannya sebagai pengumpul suara

atau didudukkan di kursi untuk dipajang di depan massa

diberi pakaian dan penutup kepala berharga murah

agar tampak sebagai barisan ulama


Ulama Abiyasa tak membutuhkan itu semua

datanglah jika ingin menghaturkan sembah

semua diterima dengan senyum mempesona

jangan minta diplintirkan ayat-ayat asal kena

sebab ia lurus apa adanya

mintalah arah dan jalan sebagai amanah

bukan untuk ditembangkan sebagai bunga kata-kata

tapi dilaksanakan sepenuh langkah

Penghujung Desember 2020


Kritik dan Esai Puisi “Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah”

          Puisi di atas merupakan salah satu karya dari M. Shoim Anwar, seorang sastrawan sekaligus dosen. M. Shoim Anwar lahir di Desa Sambong Dukuh, Jombang, Jawa Timur. M. Shoim Anwar telah banyak menulis cerpen, novel, esei, dan puisi di berbagai media, salah satunya adalah puisi Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah.

          Menurut Pradopo (2009:7), puisi merupakan ekspresi pemikiran yang membangkitkan perasaan dan merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Seperti dalam puisi di atas dengan judul “Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah”, pengarang menggunakan nama salah satu tokoh dalam pewayangan Jawa yaitu Begawan Abyasa. Begawan Abyasa merupakan kakek dari Pandawa dan Kurawa. Sebenarnya Begawan Abyasa merupakan seorang pertapa. Begawan Abyasa datang ke istana Hastinapura karena ia dipanggil oleh permaisuri Durgandini yang tidak lain adalah ibunya untuk menikahi janda dari Citrawirya yang telah meninggal sekaligus menggantikan Citrawirya dalam bertahta. Akhirnya istri dari Abyasa melahirkan masing-masing putra yaitu Drestarastra ayah dari para Kurawa dan Pandu ayah dari para Pandawa. Setelah tiba saatnya nanti Begawan Abyasa turun tahta ia akan kembali menjadi seorang pertapa.

          Dalam puisi di atas, bait pertama memiliki makna bahwa seseorang yang mulia dan tidak pernah tergoda akan kekuasaan duniawi. Bait pertama puisi di atas sebagai berikut.

Ulama Abiyasa adalah guru yang mulia

panutan para kawula dari awal kisah

ia adalah cagak yang tegak

tak pernah silau oleh gebyar dunia

tak pernah ngiler oleh umpan penguasa

tak pernah ngesot ke istana untuk meminta jatah

tak pernah gentar oleh gertak sejuta tombak

tak pernah terpana oleh singgasana raja-raja

          Pada bait kedua, memiliki makna seseorang yang memegang teguh harga diri serta kehormatan namun tetap memiliki perasaan yang ramah dan lemah lembut sehingga banyak yang menghormatinya. Bait kedua puisi di atas sebagai berikut.

Ulama Abiyasa merengkuh teguh hati dan lidah

marwah digenggam hingga ke dada

tuturnya indah menyemaikan aroma bunga

senyumnya merasuk hingga ke sukma

langkahnya menjadi panutan bijaksana

kehormatan ditegakkan tanpa sebiji senjata

          Pada bait ketiga, memiliki makna seseorang yang berpenampilan sederhana dan dipercaya untuk menjadi pemimpin demi kesejahteraan masyarakat. Bait ketiga puisi di atas sebagai berikut.

Ulama Abiyasa bertitah

para raja dan penguasa bertekuk hormat padanya

tak ada yang berani datang minta dukungan jadi penguasa

menjadikannya sebagai pengumpul suara

atau didudukkan di kursi untuk dipajang di depan massa

diberi pakaian dan penutup kepala berharga murah

agar tampak sebagai barisan ulama

          Pada bait keempat, memiliki makna seseorang yang memiliki pemikiran bijaksana. seseorang yang memberikan arahan untuk melakukan segala sesuatu dengan berdoa, sepenuh hati, tidak mudah menyerah, dan ikhlas. Bait keempat puisi di atas sebagai berikut.

Ulama Abiyasa tak membutuhkan itu semua

datanglah jika ingin menghaturkan sembah

semua diterima dengan senyum mempesona

jangan minta diplintirkan ayat-ayat asal kena

sebab ia lurus apa adanya

mintalah arah dan jalan sebagai amanah

bukan untuk ditembangkan sebagai bunga kata-kata

tapi dilaksanakan sepenuh langkah

          Dalam kehidupan saat ini, Ulama Abyasa dapat dikaitkan dengan seorang guru atau pendidik. Seorang guru yang mengajari anak-anak dengan tulus dan ikhlas tanpa mengharapkan balasan sehingga banyak orang yang menghormatinya. Semua profesi atau bidang pada awalnya tidak lepas dari pengajaran seorang guru.

          Dalam puisi di atas dengan judul “Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah”, terdiri dari 4 bait dan 29 baris. Kelebihan dalam puisi di atas yaitu setiap baris berima a dan pemilhan kata yang digunakan mudah untuk dipahami.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KRITIK DAN ESAI CERPEN "SULASTRI DAN EMPAT LELAKI" KARYA M. SHOIM ANWAR

KRITIK DAN ESAI PUISI "IDUL FITRI" KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI

KRITIK DAN ESAI PUISI WIDJI THUKUL